Kamis, 25 November 2010

R.U.S.U.H.

Saya awali artikel saya ini dengan kata ‘rusuh rusuh rusuh’. sebenarnya kami pernah trauma dengan konser rusuh. Tahun 2003-2005 kami mendapat gelar raja pensi, tapi tiba-tiba sekitar tahun 2006 kami mati gaya dan sama sekali tidak ada yang berani mengundang kami lagi tampil di Jakarta, kecuali PRJ (diadakan setahun sekali). Jelas ini benar-benar mengganggu mata pencaharian kami sebagai pemusik.

Belajar dari pengalaman berharga itu, lewat hadirnya album baru Soekamti.com kini kami berniat menepis cap rusuh dengan citra yang lebih manis. Selain dari lagu, pelan-pelan kami juga mulai mendidik dan membina Kamtis Family (sebutan bagi penggemar Endank Soekamti) tentang bagaimana menonton konser Endank Soekamti dengan aman plus menyenangkan untuk mereka dan penonton lain.

Jadi saya sangat gondok saat melihat beberapa media baru-baru ini meliput konser Endank Soekamti dan selalu dikaitkan dengan kata: R.U.S.U.H!

Saya sangat bisa pastikan Endank Soekamti bisa mengontrol Kamtis Family untuk melakukan apa saja dalam konser termasuk duduk, berdiri, angkat satu kaki, diam, bernyanyi, bernyanyi lagi, apalagi cuma meminta jangan berantem. Itu sangat mudah karena sekarang secara alami dan tidak dibayar, Kamtis benar-benar sudah menjadi sebuah keluarga besar yang solid.

Akan menjadi sangat lucu ketika orang melihat konser kami atau membaca berita di website yang kami tulis aman terkendali tapi di lain media berita berkata sebaliknya. Jadi mari lihat dan pahami dulu siapa, kenapa, dan apa definisi konser rusuh.

Siapakah yang sebenarnya susah diatur dan dikontrol di dalam konser? Jawabannya adalah orang yang tidak punya niat menonton konser. Bagi orang yang datang dengan semangat niat menonton, yang paling pen-ting adalah kepuasan menikmati musik dengan melihat pertunjukan secara live.

Tidak peduli antrian dan desak-desakan, tidak peduli waktu dan tempat atau sampai harus tebus tiket harga calo, semua akan dilakukan demi menonton sebuah konser. Jadi bagi jenis penonton yang baik seperti ini rasanya sangat tidak masuk akal kalau sampai membuat onar.

Jadi siapa sebenarnya aktor pelaku kerusuhan? Si biang kerok adalah jenis penonton yang punya prospek membuat keribut-an dan lebih sering melihat penontonnya daripada konser itu sendiri. Ciri-cirinya kurang lebih adalah:
1. Salah kostum: Menonton konser kok pakai helm? Standar SNI pula. Ini sudah melenceng dari hakikat tujuan menonton konser yang sesungguhnya.
2. Salah bendera: Sudah jelas band yang dimaksud tidak main, kok nekat bawa bendera. Memangnya mau menonton siapa?
3. Salah lagu: Mengalami missing lyrics dan tidak tahu lagu kemudian mati gaya lalu bete cari-cari kerjaan iseng dan lempar-lempar sandal sembunyi tangan.
4. Salah joget: Melakukan gerakan-gerakan dan goyangan aneh dengan ekspresi muka mencari partner senggolan.

Terkadang primitifnya sebuah daerah tentang musik juga bisa menjadi bensin atau bahan bakar kekacauan sebuah konser musik. Kurangnya pengetahuan tentang musik di masyarakat tertentu membuat orang salah persepsi tentang macam-macam cara mengekspresikan diri di lantai dansa tiap-tiap musiknya.

Faktanya, memang ada konser musik yang enak untuk mengangkat dua jempol dan diputar-putar sambil merem-melek. Ada juga yang lebih enak dinikmati dengan menyalakan korek di udara dan bernyanyi pelan di kuping pacar sambil memeluknya dari belakang.
Bila pengetahuan dan fakta itu tidak sejalan, maka gejala pertama adalah terjadinya ketidaknyamanan, lalu muncul kekhawatiran dan yang akut adalah kepanikan. Ironisnya, ciri-ciri biang kerok dan primitif di atas akan sering kita temukan hanya di konser-konser gratis di daerah. Maka konser musik kelas Java Musikindo selalu aman karena tiket bisa menyaring jenis penonton. Walalau mendatangkan band sebesar U2 juga akan berbeda cerita kalau Java Musikindo membuatnya menjadi konser gratis di daerah.
Contoh lain adalah Java Rockin’land. Satu-satunya acara dengan suntikan adrenalin dosis tinggi selama tiga hari! Aman nyaman lancar tanpa keributan dan cenderung menyenangkan baik bagi masyarakat awam atau para pencinta musik rock.

Konser gratis di Indonesia memang seharusnya ditekan. Konser gratis sangat tidak merangsang masyarakat untuk menghargai seni. Konser gratis membuat tujuan dan motivasi orang datang ke konser menjadi tidak jelas. Konser gratis rawan sekali dipakai sebagai media untuk mengekspresikan diri sekaligus ajang eksistensi PPS (Paguyuban Preman Setempat).

Saya sependapat dengan Febry Meuthia, produser musik di SCTV. Menurutnya, definisi konser rusuh di antaranya adalah: 1. Jika konser tidak bisa dilanjutkan; 2. Ada ekses berupa mobil dibakar; 3. Rumah dihancurkan; 4. Toko dijarah.

Jadi kalau cuma ribut antarpenonton dan bisa diamankan petugas, itu bukan rusuh. Mungkin ada baiknya teman-teman dari pemberitaan atau kontributor daerah tidak hanya meliput dekat tenda kesehatan saja supaya liputan konser tidak melulu berisikan berita rusuh dan menghitung berapa orang yang pingsan dan terluka.

sumber : rollingstones


http://www.mymusicsharing.com/topic/9702-erix-soekamti-rusuh-rusuh-rusuh/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar